Blog
Pelajaran-Lengkap kali ini akan mengeshare mengenai contoh ringkasan dan
unsur-unsur intrinsik pada sebuah cerpen. Cerpen berikut yakni Cerpen yang
berjudul Rapor yang saya ambil dari website Kolomkita dan dengan sedikit
perubahan :
Karya :
BiruLangit
Diam-diam aku
memerhatikannya dari tadi, gerak-geriknya terbaca jelas. Sangat jelas. Bahkan
orang bodoh pun tahu, dia sangat gelisah. Dia baru tiba saat pembawa acara baru
saja selesai membacakan agenda pertemuan hari ini. Rambut panjangnya yang
tergerai berayun-ayun mengikuti langkahnya yang tergesa. Sesaat dia berhenti di ambang aula. Matanya
berkeliling mencari-cari tempat duduk yang kosong. Hanya kursi di barisan depan
yang masih tersisa. Dengan enggan, tapi berusaha tetap terlihat elegan, dia pun
mengambil tempat duduk di kursi pojok barisan depan. Jauh dari orang tua murid
yang lain. Sedari tadi dia tidak tenang. Digeser-gesernya duduknya. Kadang ke
kanan, kadang ke kiri, ke depan, ke belakang. Bolak-balik diangkatnya tangannya
untuk menengok jam berlapis emas putih di pergelangan tangannya itu. Padahal
sudah ada jam tergantung di dinding aula. Seakan dia ingin memastikan kalau
jarum jam dinding itu sudah berputar sebagaimana seharusnya. Sesekali dihelanya
nafasnya.
Sebentar kaki
kanannya disilangkan ke kaki kirinya. Sebentar kemudian diturunkannya. Kini
kedua kaki langsingnya sedang mengetuk-ngetuk lantai tanpa irama. Sementara itu
kepalanya terus berkeliling. Sekilas dapat kulihat setitik keringat meluncur di
dahinya yang putih mulus. Tentu saja keringat itu tak akan melunturkan
riasannya.
Aku terpaksa
mengangguk (sok) ramah padanya ketika tatapan kami bertemu. Sekedar untuk
menyembunyikan seringai yang terlanjur muncul di ujung bibirku. Dia membalasku
dengan anggukan dan senyuman teramat tipis sembari dengan angkuh mengangkat
dagunya. Sesaat kemudian aku berpaling, kembali berlagak serius mendengarkan
paparan kepala sekolah mengenai pencapaian- pencapaian sekolah kami di tahun
ajaran ini. Paparan yang terlalu panjang dan terlalu lebar. Membosankan. Kenapa
tidak langsung ke menu utama saja, pengambilan rapor. Aku sudah tak sabar.
Tinggal kami bertiga
di ruang kelas ini. Aku yang sedang melayani Bu Mira, dan dia yang duduk dengan
gelisah di deretan kursi tunggu yang kosong. Perilaku gelisahnya sama persis
dengan sewaktu dia ada di aula tadi:
digeser-geserkannya, kaki ditopangkan bergantian kalau tidak
diketuk-ketukan di lantai, pandangan berkeliling atau menunduk berlagak
mencari-cari sesuatu dalam tas, maupun jam tangan yang berkali-kali
ditengoknya. Dagunya mendongak setiap kali mata kami bersitatap. Dasar angkuh!
Aku tahu dia sedang memakiku habis-habisan dalam hatinya. Biar saja, memang
kusengaja. Setelah pertemuan di aula selesai, para orang tua dipersilakan masuk
ke ruang kelas anak mereka masing- masing untuk menerima pembagian rapor. Dan
kira-kira sejak dua jam yang lalu dia sudah duduk di sini menunggu giliran
kupanggil menghadapku untuk mendapatkan rapor anaknya. Dari lima belas muridku,
anaknya memang nomor absen terakhir. Jadi bukan salahku jika sampai saat ini
dia belum juga kupanggil. Aku baru sampai nomor absent empat belas. Rachel,
anak Bu Mira. Hanya saja, aku memang sengaja berlama-lama berbincang dengan
setiap orang tua murid. Kujelaskan sampai sedetail- detailnya perkembangan anak
mereka selama satu tahun ajaran ini. Hal yang tidak perlu kulakukan sebenarnya.
Perkembangan setiap anak didik sudah tercantum dalam rapor khusus kami yang
berupa laporan narasi deskriptif. Belum lagi jika kebetulan sang orang tua
murid memang suka ngobrol, pembicaraan bisa melebar sampai ke mana-mana.
Seperti yang sedang kulakukan dengan Bu Mira ini.
“Ibu ini bisa aja!”
Bu Mira tertawa panjang. Muka putihnya bersemu
merah. Bu Mira bercerita kalau Rachel baru saja menjadi juara satu lomba
wajah fotogenik. Aku bilang pantas saja, karena dia mewarisi kecantikan ibunya.
Gombal sekali memang, tapi yang seperti ini orang tua murid suka. Dimasukkannya
rapor, laporan perkembangan, dan beberapa lembar pengumuman ke dalam tas, lalu
dikeluarkannya sebuah bungkusan dari dalam tasnya. “Rachel sendiri yang
memilih, Bu. Semoga suka!” Tangannya mengangsurkan sebuah kotak kecil yang
terbungkus kertas kado bergambar kartun Naruto. “Aduh, malah merepotkan!”
kataku berbasa-basi, “terima kasih banyak lho, Bu!” “Ah, biasa aja ! Terima
kasih banyak Bu, sudah membimbing Rachel. Maaf, sudah banyak merepotkan!”
“Tidak apa-apa, Bu, sudah menjadi tugas saya!” Jawaban ini sudah secara mekanis
keluar dari mulutku setiap semesternya. “Mari Bu, saya permisi!” Bu Mira
beranjak keluar ruang kelas. “Terima kasih, Bu. Salam buat Rachel!” Kutumpukkan
bingkisan dari Bu Mira di atas bingkisan-bingkisan orang tua murid sebelumnya.
Selain bingkisan-bingkisan itu ada beberapa amplop di dalam laci mejaku. Hatiku
bertanya-tanya, apa gerangan yang dibawa oleh perempuan yang kini sedang
melangkah menghampiriku ini. Setelah parcel segede gunungnya yang kukembalikan
seminggu yang lalu! Hari gini menyogok guru agar mau mengatrol nilai! Rupanya
dia sudah merasa rapor anaknya bakalan jelek. Ardian, anaknya, memang
berkebutuhan khusus. Gangguan konsentrasinya membuatnya sulit mengikuti
pelajaran. Nilai-nilainya selalu di bawah teman-temannya. Tidak hanya itu,
agaknya dia juga mulai sadar kalau kelakuannya padaku selama ini bisa saja membuatku
mengurangi nilai-nilai anaknya. Sebenarnya kesempatan ini sudah
kutunggu-tunggu. Pembalasan dendamku untuk perempuan ini. Di sinilah ajang
pembuktianku bahwa aku bukan orang sembarangan. Bahwa aku punya kekuasaan.
Kalau sebenarnya dia tidak bisa macam- macam denganku. Sebagian masa depan
anaknya aku yang menentukan. “Mari, Bu, silakan duduk!” Tanpa sepatah kata dia
hanya tersenyum tipis, duduk di hadapanku. Senyum bernada segan. Bukan senyum
sinis seperti yang beberapa kali dilemparkannya padaku, saat dia mencercaku.
Untuk penilaian- penilaiannya padaku: guru konvensional, guru pilih kasih, guru
yang kurang perhatian, dan lain-lain. Aku berlagak sibuk menyiapkan rapor,
laporan perkembangan, dan beberapa lembar pengumuman yang akan kuberikan kepadanya.
Sedangkan sudut mataku mencuri- curi pandang wajah cemasnya. Wajahnya yang
pucat. Seperti aku ini hantu baginya.
Dalam hatiku tertawa.
Mati kau, kutukku. Kutumpukkan berkas-berkas yang akan kuberikan padanya di
sudut meja. “Selamat pagi, Bu!” Kataku sambil menjabat tangannya yang dingin.
Tangan yang pernah melemparkan kertas ulangan anaknya ke mukaku, sembari
berkata kalau percuma saja bayar mahal-mahal kalau lagi lagi dapat nilai lima
puluh. Tanganku menjadi ikut basah oleh keringat di telapak tangannya. “Pagi …,
pagi Bu,” jawabnya tanpa bisa mengatasi kegugupannya. Lagi-lagi dalam hatiku
tertawa. Teringat aku bagaimana dia meneleponku malam-malam, tanpa ucapan
selamat malam, hanya untuk menanyakan keberadaan pensil atau penghapus anaknya
yang hilang. Setengah mati aku berusaha menyembunyikan tawaku. “O ya, Bu. Mohon
maaf sebelumnya. Kemarin terpaksa saya mengembalikan bingkisan Ibu. Bukannya
apa-apa, Bu. Peraturan sekolah melarang guru menerima bingkisan dari orang tua
murid sebelum rapor dibagikan. Saya tidak berani melanggarnya, Bu. Semoga Ibu
maklum.” Padahal mana ada sekolah mengatur perihal itu. Macam pejabat saja,
dilarang menerima gratifikasi. “Tidak apa-apa, Bu. Saya yang minta maaf. Saya
tidak tahu ada peraturan seperti itu di sini. Di sekolah Ardian yang dulu
diperbolehkan. Saya hanya bermaksud mengucapkan terima kasih saja.” Dia menelan
ludah sebentar. “O ya, bagaimana Ardian, Bu Lily?” Wajahnya terlihat sangat
memelas. Layaknya pengemis yang sudah tiga hari tidak makan memohon sedekah
saja. Ke mana gerangan dongakan dagunya yang angkuh itu? Ho ho, betapa aku
rindu! Kuambil tumpukan berkas di sudut meja. Sengaja tidak segera kuserahkan
kepadanya. “Mohon maaf, Bu. Sejak kepindahan Ardi awal semester dua ini, saya
sudah berusaha sebaik mungkin membimbing Ardi ….” Kalimatku menggantung.
Berkas-berkasnya masih di tanganku. Wajahnya seperti orang yang sudah mati
saja. Seperti tidak ada lagi darah yang mengalir di pembuluh darahnya. Matanya
berkaca-kaca. Bibirnya gemetar. “Ja … jadi … bagaimana, Bu? Bisa tidak naik ke
kelas tiga?” Pertanyaannya lebih terdengar sebagai ratapan.
Tapi aku tidak juga
jatuh iba. Seperti ketika dia memohonku untuk melupakan apa yang pernah
dilakukannya padaku. Mengiba-iba meminta maaf. Semata-mata karena dia takut
sakit hatiku akan mempengaruhi nilai rapor anaknya. Ataupun ketika
seminggu yang lalu dia memohonku
“kebijaksanaanku” untuk menaikkan anaknya. Dia tidak tahu di mana dia akan
menaruh mukanya jika anaknya lagi-lagi tidak naik kelas. Berkas-berkasnya masih
kutahan. Biar kunikmati dulu penderitaannya ini. Nikmat, sungguh nikmat!
“Seperti yang Ibu ketahui sebelumnya, sekolah kita memang berbeda dengan
sekolah yang lain, Bu. Berbeda dari sekolah Ardi sebelumnya. Dari segi metode
maupun substansi pembelajarannya. Tapi tetap saja kita mengacu pada peraturan
dinas pendidikan, karena kita pakai kurikulum nasional, Bu. Mungkin Ibu juga
sudah tahu. Sebagai syarat kenaikan kelas, rata-rata nilai rapor siswa semester
satu dan dua tidak boleh lebih dari,” sengaja kuberi penekanan, “empat mata
pelajaran yang di bawah KKM…” Akhir kalimatku kembali menggantung. Manusia di
hadapanku ini semakin terlihat mengenaskan. Butir-butir keringat meluncur di
dahinya. Sebagian sudah sampai di pipinya. Ada kemungkinan dia sudah akan
pingsan dulu sebelum aku menyelesaikan penjelasanku ini. Bahagianya, siang ini
aku merasa menjadi Tuhan. Kubuka rapor Ardi. Kuhadapkan ke arahnya. “Semester
ini Bu, nilai Ardi kurang memuaskan. Seperti yang Ibu lihat di sini.” Kutunjuk
dengan jariku. “Agama, Bahasa Indonesia, Matematika, IPA, IPS, dan SBK ada di
bawah KKM. Jadi ada lima mata pelajaran yang ada di bawah KKM ….” Tangannya
sampai gemetar menerima buku rapor ini. “Tidak naik, Bu? Benar-benar tidak bisa
ditolong?” Kalau teringat bagaimana dia mengangkat dagunya, ekspresinya kali
ini tampak begitu menggelikan. Kubuka halaman sebelumnya, rapor semester satu.
“Semester satu juga ada lima mata pelajaran yang di bawah KKM. PKn, Bahasa
Indonesia, Matematika, IPA, IPS, dan SBK ….” Sengaja aku berhenti untuk
memandang wajahnya. Aih, aih. Seperti habis kecopetan uang semilyar! Dia
membolak-balik halaman rapor anaknya. “Lima mata pelajaran, ya?” Suaranya
tersendat di kerongkongan. Aku tersenyum. Lebar. Kini tidak kututup-tutupi.
“Lima, Bu ….” Matanya nanar menatap angka- angka itu. Senyumku semakin lebar.
“Ibu, tapi setelah dirata-rata, ternyata hanya empat mata pelajaran saja yang
di bawah KKM. Bahasa Indonesia, Matematika, IPA, IPS, dan SBK ….” Dia melongo,
tak menyangka. “Ja … jadi … Bu?” Kini aku ingin tertawa. “Masih naik, Bu. Walau
mepet ….” Seketika wajahnya menjadi bercahaya. Berbinar-binar, seperti seribu
kunang-kunang beterbangan mengitarinya. “Syukurlah!” Dia
tidak bisa menyembunyikan kegembiraannya. “Syukurlah!” Dia mendekap rapor
anaknya dalam dadanya itu. “Syukurlah!” Aku manusia biasa, aku menyimpan
dendam. Aku pun pantas membencinya, karena aku punya harga diri. Tapi aku juga
masih punya nurani. Tidak mungkin aku mengubah angka- angka itu. Walaupun hal
itu sebenarnya sangat mudah bagiku. Tidak akan ada seorang pun yang bertanya
mengapa anak itu tinggal kelas. Dunia akan memakluminya. Sudahlah. Aku sudah
sangat puas melihat perempuan yang angkuh itu hampir mati ketakutan. Itu saja
cukup. Dendamku sudah terbalaskan Hahaha.
RINGKASAN
Aku
memerhatikannya dari tadi, Bu Dina sangat gelisah. Dia baru tiba saat pembawa
acara baru saja selesai membacakan agenda pertemuan pagi ini. Matanya
berkeliling mencari-cari tempat duduk yang kosong. Hanya kursi di barisan depan
yang masih tersisa. Dengan enggan, tapi berusaha tetap terlihat elegan, dia pun
mengambil tempat duduk di kursi pojok barisan depan. Jauh dari orang tua murid
yang lain. Digeser-gesernya duduknya. Kadang ke kanan, kadang ke kiri, ke
depan, ke belakang. Bolak-balik diangkatnya tangannya untuk menengok jam
berlapis emas putih di pergelangan tangannya itu. Padahal sudah ada jam
tergantung di dinding aula. Sesekali dihelanya nafasnya.
Aku mengangguk ramah padanya ketika
tatapan kami bertemu. Dia membalasku dengan anggukan dan senyuman teramat tipis
sembari dengan angkuh. Sesaat kemudian aku berpaling, kembali berlagak serius
mendengarkan paparan kepala sekolah mengenai pencapaian- pencapaian sekolah
kami di tahun ajaran ini. Paparan yang terlalu panjang dan terlalu lebar.
Meskipun begitu aku tetap sabar. Setelah pertemuan di aula selesai, para orang
tua dipersilakan masuk ke ruang kelas anak mereka masing- masing untuk menerima
pembagian rapor.
Tinggal kami bertiga di ruang kelas
ini . Aku yang sedang melayani Bu Mira, dan dia yang duduk dengan gelisah di
deretan kursi tunggu yang kosong. Dagunya mendongak setiap kali mata kami
bersitatap. Dasar angkuh! Aku tahu dia sedang memakiku habis-habisan dalam hatinya.
Dan kira-kira sejak dua jam yang lalu dia sudah duduk di sini menunggu giliran
kupanggil untuk mendapatkan rapor anaknya. Dari lima belas muridku, anaknya
memang nomor absen terakhir.
Aku baru sampai nomor absent empat
belas. Rachel, anak Bu Mira. Hanya saja, aku memang sengaja berlama-lama
berbincang dengan setiap orang tua murid. Kujelaskan sampai sedetail- detailnya
perkembangan anak mereka selama satu tahun ajaran ini.
Kini perempuan itu
sedang melangkah menghampiriku. Setelah parcel segede gunungnya yang
kukembalikan seminggu yang lalu! “Hari gini menyogok guru agar mau mengatrol
nilai!” Rupanya dia sudah merasa rapor anaknya bakalan jelek. Ardian, anaknya,
memang berkebutuhan khusus. Dia sulit mengikuti pelajaran. Nilai-nilainya
selalu di bawah teman-temannya.
Sebenarnya kesempatan ini sudah kutunggu-tunggu. Pembalasan dendamku
untuk perempuan ini. Di sinilah ajang pembuktianku bahwa aku bukan orang
sembarangan. Bahwa aku punya kekuasaan. “Mari, Bu, silakan duduk!” Tanpa
sepatah kata dia hanya tersenyum tipis, duduk di hadapanku. Senyum bernada
segan. Bukan senyum sinis seperti yang beberapa kali dilemparkannya padaku,
saat dia mencercaku. Untuk penilaian- penilaiannya padaku: guru konvensional,
guru pilih kasih, guru yang kurang perhatian, dan lain-lain. Aku berlagak sibuk
menyiapkan rapor, laporan perkembangan, dan beberapa lembar pengumuman yang
akan kuberikan kepadanya. Sedangkan sudut mataku mencuri- curi pandang wajah
cemasnya. Wajahnya yang pucat. Seperti aku ini hantu baginya.
“Selamat
pagi, ibu Dina !” Kataku sambil menjabat tangannya yang dingin. Tangan yang
pernah melemparkan kertas ulangan anaknya ke mukaku, sembari berkata kalau
percuma saja bayar mahal-mahal kalau lagi lagi dapat nilai lima puluh. Tanganku
menjadi ikut basah oleh keringat di telapak tangannya. “Pagi …, pagi Bu,”
jawabnya dengan gugup. Sayapun berkata :
“O ya, Bu. Mohon maaf sebelumnya. Kemarin terpaksa saya mengembalikan bingkisan
Ibu. Bukannya apa-apa, Bu. Peraturan sekolah melarang guru menerima bingkisan
dari orang tua murid sebelum rapor dibagikan, Semoga Ibu maklum
“Tidak apa-apa, Bu. Saya yang minta maaf. Saya
tidak tahu ada peraturan seperti itu di sini. Saya hanya bermaksud mengucapkan
terima kasih saja.” “O ya, bagaimana Ardian, Bu Lily?” Wajahnya terlihat sangat
memelas. Layaknya pengemis yang sudah tiga hari tidak makan memohon sedekah
saja. Ke mana gerangan dongakan dagunya yang angkuh itu? Ho ho, betapa aku
rindu! Kuambil tumpukan berkas di sudut meja. Sengaja tidak segera kuserahkan
kepadanya. “Mohon maaf, Bu. Sejak kepindahan Ardi awal semester dua ini, saya
sudah berusaha sebaik mungkin membimbing Ardi ….” Kalimatku menggantung.
Berkas-berkasnya masih di tanganku. Wajahnya seperti orang yang sudah mati
saja. Suasanana menjadi menegangkan buat Bu Dina. Seperti tidak ada lagi darah
yang mengalir di pembuluh darahnya. Matanya berkaca-kaca. Bibirnya gemetar. “Ja
… jadi … bagaimana, Bu? Bisa tidak naik ke kelas tiga?” Pertanyaannya lebih
terdengar sebagai ratapan.
“Seperti
yang Ibu ketahui sebelumnya, sekolah kita memang berbeda dengan sekolah yang
lain, Bu. Berbeda dari sekolah Ardi sebelumnya. Dari segi metode maupun
substansi pembelajarannya. Tapi tetap saja kita mengacu pada peraturan dinas
pendidikan, karena kita pakai kurikulum nasional, Bu. Mungkin Ibu juga sudah
tahu. Sebagai syarat kenaikan kelas, rata-rata nilai rapor siswa semester satu
dan dua tidak boleh lebih dari,” sengaja kuberi penekanan, “empat mata
pelajaran yang di bawah KKM…”
Akhir kalimatku kembali menggantung.
Manusia di hadapanku ini semakin terlihat mengenaskan. Butir-butir keringat
meluncur di dahinya. Kubuka rapor Ardi. Kuhadapkan ke arahnya. “Semester ini
Bu, nilai Ardi kurang memuaskan. Seperti yang Ibu lihat di sini.” Kutunjuk
dengan jariku. “Agama, Bahasa Indonesia, Matematika, IPA, IPS, dan SBK ada di
bawah KKM. Jadi ada lima mata pelajaran yang ada di bawah KKM ….” Tangannya
sampai gemetar menerima buku rapor ini. “Tidak naik, Bu? Benar-benar tidak bisa
ditolong?” Kalau teringat bagaimana dia mengangkat dagunya, ekspresinya kali
ini tampak begitu menggelikan. Kubuka halaman sebelumnya, rapor semester satu.
“Semester satu juga ada lima mata pelajaran yang di bawah KKM. PKn, Bahasa
Indonesia, Matematika, IPA, IPS, dan SBK ….” Sengaja aku berhenti untuk
memandang wajahnya. Aih, aih. Seperti habis kecopetan uang semilyar! Dia
membolak-balik halaman rapor anaknya. “Limaa ma..ta pelaja..ran, ya?” Suaranya
tersendat di kerongkongan.
Aku tersenyum. Lebar. Kini tidak
kututup-tutupi. “Lima, Bu ...” Matanya nanar menatap angka- angka itu. Senyumku
semakin lebar. “Ibu, tapi setelah dirata-rata, ternyata hanya empat mata
pelajaran saja yang di bawah KKM. Bahasa Indonesia, Matematika, IPA, IPS, dan
SBK.. .” Dia melongo, tak menyangka. “Ja
jadi .. Bu?” Kini aku ingin tertawa. “Masih naik, Bu. Walau mepet ….”
Seketika wajahnya menjadi bercahaya. Berbinar-binar, seperti seribu
kunang-kunang beterbangan mengitarinya. “Syukurlah!” Dia tidak bisa
menyembunyikan kegembiraannya. “Syukurlah!” Dia mendekap rapor anaknya dalam
dadanya itu. “Syukurlah!” Aku manusia biasa, aku menyimpan dendam. Aku pun
pantas membencinya, karena aku punya harga diri. Tapi aku juga masih punya
nurani. Tidak mungkin aku mengubah angka- angka itu. Walaupun hal itu
sebenarnya sangat mudah bagiku. Tidak akan ada seorang pun yang bertanya
mengapa anak itu tinggal kelas. Dunia akan memakluminya. Sudahlah. Aku sudah
sangat puas melihat perempuan yang angkuh itu hampir mati ketakutan. Itu saja
cukup. Dendamku sudah terbalaskan.
UNSUR
INSTRINSIK
TEMA
: Pendidikan
LATAR
:
Latar
Tempat
Di
Aula
Bukti
pada kalimat : Padahal sudah ada jam tergantung di dinding aula. Sesekali
dihelanya nafasnya.
Di
Ruang Kelas
Bukti
pada kalimat: Tinggal kami bertiga di ruang kelas ini. Aku yang sedang melayani
Bu Mira, dan dia yang duduk dengan gelisah di deretan kursi tunggu yang kosong
Latar
Waktu
Di
waktu Pagi hari
Bukti
pada kalimat : Dia baru tiba saat pembawa acara baru saja selesai membacakan
agenda pertemuan pagi ini
Latar
Suasana
Menegangkan
Bukti
pada kalimat : Suasana menjadi menegangkan buat Bu Dina. Seperti tidak ada
lagi darah yang mengalir di pembuluh darahnya.
ALUR
: Maju
Pengantar
: Acara pertemuan Orang Tua murid diawali di Aula yang
dipimpin oleh Kepala Sekolah
Penampilan
Masalah : Tiba saatnya Orang Tua dari Ardi, dipanggil untuk
mengambil rapor
Klimaks
: Bu Lily mengatakan bahwa nilai rapor Ardi pada
semester itu kurang memuaskan, ada lima mata pelajaran yang dibawah KKM. Tiba
saatnya Bu Lily mengumumkan apakah Ardi naik kelas atau tidak.
Resolusi
: Ternyata setelah dirata-rata, ada 4 pelajaran yang
dibawah KKM sehingga Ardi dinyatakan naik kelas.
TOKOH
DAN PERNOKOHAN
Aku
/Bu Lily - Sebagai Guru Kelas :
PERHATIAN
Bu Lily selalu memerhatikannya tingkah
laku Bu Dina yang sangat gelisah
RAMAH
Menganguk, Menyapa, dan memberi salam
dengan ramah kepada Bu Dina
BIJAKSANA
Bertindak bijkasana dan tegas seperti
menolak bingkisan dari Bu Dina, dimana sebenarnya Bingkisan dari Bu Dina itu
diberikan untuk mengkatrol nilai anaknya
Bu
Dina – Sebagai Orang Tua dari Ardi :
ANGKUH
Membalas salam Bu Lily dengan angkuh
TIDAK
SABARAN
Tidak sabar menunggu dan sangat gelisah
terhadap hasil Rapor anaknya
HAL YANG MENARIK
Ketika akan diberitahukan nilai rapor, Bu Dina sangat pucat dan Bu Lily memberitahu bahwa ada 5 nilai di bawah KKM sedangkan syarat minimum naik kelas minimal ada 4 nilai di bawah KKM. Untungnya setelah dirata-rata hanya ada 4 nilai di bawah KKM sehingga Ardi dinyatakan Naik Kelas. Hal ini tentunya membuat Bu Dina sangat gembira.
Ketika akan diberitahukan nilai rapor, Bu Dina sangat pucat dan Bu Lily memberitahu bahwa ada 5 nilai di bawah KKM sedangkan syarat minimum naik kelas minimal ada 4 nilai di bawah KKM. Untungnya setelah dirata-rata hanya ada 4 nilai di bawah KKM sehingga Ardi dinyatakan Naik Kelas. Hal ini tentunya membuat Bu Dina sangat gembira.
Bagi yang
ingin mendownload file powerpointnya silahkan klik
Password : pelajaran-lengkap.blogspot.com
1 komentar:
yang gak naik keloas
HASBI TABLO